Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) menilai, kinerja sektor properti saat ini tengah menunjukkan kelemahan. Hal ini merupakan imbas dari masa-masa pandemi COVID-19 kemarin hingga kondisi geopolitik global saat ini yang membuat inflasi global terus meningkat.
Gubernur Lemhannas Republik Indonesia Andi Widjajanto mengatakan, saat ini dunia telah meninggalkan era suku bunga murah sebagai imbas dari inflasi yang terlampau tinggi. Era ini membuat aliran kapital yang awalnya sangat mudah mengalir kini telah berakhir, ditandai dengan jatuhnya dua bank besar Amerika Serikat (AS) yang relatif bergerak pada sektor tersebut.
"Salah satu yang kita khawatirkan kalau dilihat dari data yang lain adalah tentang kinerja sektor properti. Data globalnya menunjukkan terjadi pelemahan harga properti secara global," kata Andi, dalam Webinar Memperkuat Ketahanan Nasional di Industri Jasa Keuangan, lewat saluran telekonferensi, Senin (22/5/2023).
Berdasarkan data yang dipaparkan Andi yang bersumber dari olahan IMF dan Bloomberg, sebanyak 31 dari total 46 negara yang diamati, mengalami kontraksi harga properti. Selain itu, pengendalian utang swasta oleh pemerintah Tiongkok telah memicu krisis properti domestik.
"Dan itu (tren harga properti) akan sangat-sangat dipengaruhi kinerja sektor properti di Tiongkok," imbuhnya.
Pelemahan itu terlihat paling tinggi terjadi di Denmark, dengan tren harga bertumbuh -5,91% dibandingkan kuartal sebelumnya. Disusul Selandia Baru -5,21%, kemudian Swedia di -4,59%. Begitu pula dengan Indonesia yang pertumbuhannya mencapai -2,23%.
Selain itu, Andi menambahkan, pelemahan tren sektor properti ini juga turut memukul sejumlah sektor produksi komoditas bahan bangunan, terutama produksi logam untuk baja lantaran pengaruh terbesar industri logam berada di sektor ini.
Rantai Pasok Global Masih Terganggu
Selain sektor properti, Andi juga melihat, kondisi patahnya rantai pasok global masih belum pulih dari masa pandemi COVID-19. Ia memproyeksikan kondisi ini akan tetap bertahan selama beberapa waktu ke depan.
"Mungkin akan stagnan terutama karena tidak berhasil ditemukan cara untuk menjaga rantai pasok dunia pada saat Rusia-Ukraina eskalasinya semakin tinggi," kata Andi.
Kondisi ini juga diperparah dengan adanya perang dagang teknologi antara Tiongkok dengan Amerika Serikat (AS), serta diperparah dengan kemungkinan naiknya ketegangan eskalasi Tiongkok-AS untuk masalah Taiwan.
Hal ini pun terlihat dari negara-negara Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang pada bulan lalu telah bersepakat menurunkan kapasitas produksinya sampai 1 juta barel per hari. Akibatnya, harga minyak tidak bisa bergerak turun ke US$ 60 dolar per barel, dan cenderung bergerak di US$ 80-100 dolar per barel.
Sumber: www.detik.com
Ilustrasi Pixabay